Tuesday, May 7, 2013

MAAFKANLAH SEBELUM DIMINTA



Salah satu sisi negatif kehidupan modern adalah munculnya masyarakat yang egois. Hampir semua orang disibukkan oleh urusannya sendiri, dan tak peduli dengan urusan orang lain. Bila ada urusan pribadinya yang terganggu sedikit saja, muncul alasan untuk marah, membalas, atau mendendam. Padahal, dengan cara seperti itu, ia malah akan menang­gung dua beban sekaligus. Pertama, beban atas gangguan orang lain dan yang kedua, beban marah yang tersimpan di dalam dadanya.

Islam mengajarkan kepada kita untuk membebaskan diri dari segala bentuk beban yang tidak perlu. Kita harus memerdekakan diri dari segala bentuk penjajahan hawa nafsu yang merusak dan membebani. Kita buang beban itu dengan cara yang sangat sederhana, yaitu memaafkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Khudzil ‘afwa wah mur bil ‘urfi wa a’ridh anil jahiliin”
Terjemahnya: “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-­orang yang bodoh.” (Al-A'raf [7] : 199)

Meski Dizalimi
Seperti diriwayatkan oleh Ath-Thabari, ketika ayat di atas diturunkan, Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam (SAW) meminta penjelasan kepada Jibril tentang maksud dan kandungannya. Jibril kemudian menjawab, “Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan agar engkau memaafkan, sekalipun kepada orang yang menganiayamu (agar engkau) memberi kepada orang yang menahan pemberiannya, dan (agar engkau) menyambung silaturahim, meskipun kepada orang yang sengaja memutuskannya.”

Dalam kisah yang diriwayatkan Anas bin Malik disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah memuji seorang bernama Abu Dhamdham di depan para Sahabat. “Apakah kalian mampu berbuat seperti yang dilakukan Abu Dhamdham?” kata Rasulullah SAW.

Para Sahabat kemudian bertanya, “Apakah yang dilakukan Abu Dhamdham wahai Rasulullah ?”
Beliau menjawab, “Ia adalah orang yang ketika bangun pagi selalu mengucapkan doa, ‘Ya Allah, saya berikan jiwa dan nama baik saya. Jangan dicela orang yang mencela saya dan janganlah dizalimi orang yang menzalimi saya, serta jangan dipukul orang yang memukul saya.”

Alangkah mulianya ajaran Islam ini bila diterapkan di tengah kehidupan modern yang semakin individualistis. Selain mulia, memaafkan juga bisa mendatangkan kebahagiaan. Sebaliknya, keengganan untuk memaafkan hanya akan melahirkan kesengsaraan, karena membiarkan diri disakiti terus-menerus oleh diri kita sendiri.

Untuk itu, maafkanlah orang yang meminta maaf. Maafkan juga orang yang mengajukan pengakuan atas kesalahannya, dan terimalah permintaan maafnya tanpa banyak pertimbangan. Bahkan carikan alasan agar kita bisa memaafkannya.

Sebelum Diminta
Al-Qur'an secara spesifik pernah menegur Abu Bakar Ash-­Shiddiq karena ia telah bersumpah akan memutuskan hubungan kekerabatan dan menghentikan bantuan keuangan yang biasa diberikannya kepada sepupunya, Misthah bin Utsatsah.

Peristiwa ini bukan tanpa alasan. Misthah telah melukai hati Abu Bakar karena ikut serta menyebarluaskan berita bohong (haditsul ifki) tentang `Aisyah, putri kesayangannya. Dalam berita palsu itu disebutkan bahwa 'Aisyah telah berbuat serong dengan lelaki lain. Siapa yang hatinya tidak marah jika putrinya difitnah seperti itu ?

 Akan tetapi Allah Ta’ala justru menurunkan ayat secara khusus ditujukan kepada Abu Bakar. Allah Ta’ala berfirman, sebagaimana disebutkan dalam Surat An-Nuur [24] ayat 22,
Terjemahnya: “dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. An Nuur: 22)

Setelah ayat itu disampaikan oleh Rasulullah SAW, secara spontan Abu Bakar menjawab pertanyaan Allah Ta’ala dengan berdoa, “Ya Allah, aku lebih suka agar Engkau mengampuniku, dan aku sudah memafkannya.”

Abu Bakar memberi maaf kepada sepupunya yang menye­barkan fitnah keji itu sebelum Misthah datang meminta maaf. Baginya, ampunan Allah Ta’ala jauh lebih penting dari pada sekedar permintaan maaf orang lain. Ia tidak menunggu sepupunya merengek-rengek atau menunduk-­nunduk meminta maaf. Meminta maaf atau tidak, ia telah memaaf­kannya.

Pangkal Pengampunan
Bagi orang yang bertakwa, ampunan Allah Ta’ala berada di atas segala-galanya. Karena itu, kita hendaklah meminta ampunan-Nya siang dan malam. Beristighfar dan bertobatlah kepada-Nya. Salah satu cara mudah meraih ampunan Allah Ta’ala adalah dengan memberi maaf kepada orang lain. Rasulullah SAW, dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, berkata, “Barangsiapa memaafkan kesalahan seorang Mus­lim, maka Allah akan memaafkan kesalahannya.” Sepanjang bukan menyangkut masalah hudud (hukuman yang diatur oleh Allah Ta’ala), seberapa pun besarnya kesalahan orang lain, kita harus bisa terbuka untuk memaafkannya.

Ada dua cara yang efektif untuk memaafkan kesalahan orang lain. Pertama, kita menyadari bahwa manusia itu tempatnya salah dan lupa. Kita sendiri sebagai pribadi, juga sering berbuat salah, baik kepada Allah Ta’ala maupun kepada sesama manusia.

Jika kita ingin dimaafkan orang lain, tentu orang lain yang berbuat salah kepada kita juga ingin dimaafkan oleh kita. Jika ada orang yang tidak meminta maaf atas kesalahannya, tak ada alasan bagi kita untuk tidak memaafkan.

Dalam hal ini kita harus berhusnuzhan (baik sangka) kepadanya bahwa dia tidak memahami kesalahannya, atau karena ilmunya yang terbatas, atau mungkin saja persepsinya yang berbeda.

Cara kedua, kita meyakini bahwa Allah Ta’ala itu Maha Pemaaf dan menyukai orang yang meminta maaf. Jika Allah Ta’ala mudah memberi maaf, mengapa kita pelit memaafkan orang lain ?

Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada yang lebih suka memaafkan selain Allah. Oleh karena itu, Dia mengutus para Rasul sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan.” (Riwayat Bukhari).

Begitu besarnya pengampunan Allah Ta’ala sehingga Dia memaafkan orang yang meminta ampunan maupun yang tidak minta ampun. Dalam Hadits yang diriwayatkan Bukhari disebutkan bahwa ada seorang laki-laki di masa lalu yang memerintahkan anak-anaknya untuk membakar jasadnya jika ia telah mati, lalu menaburkan abunya di hembusan angin. Tujuannya tak lain agar Allah Ta’ala kelak, menurut anggapannya, tidak dapat mengumpulkan kembali abu tersebut dan tidak dapat menyiksanya.

Lalu Allah Ta’ala mengumpulkan abunya, dan menghidupkannya kembali, dan kemudian bertanya kepadanya, “Apa yang menyebabkan kamu berbuat demikian ?” Ia menjawab, “Karena aku takut kepada-Mu, wahai Tuhanku.” Allah Ta’ala kemudian mengampuninya.

Para Ulama mengomentari Hadits di atas bahwa Allah Ta’ala mengampuni dosa seseorang karena ketidaktahuannya dalam masalah aqidah. Lantas bagaimana dengan kita ? Apakah kita tidak ingin memaafkan kesalahan saudara kita hanya karena ketidaktahuannya atas masalah yang lebih sepele dibanding kejadian di atas ?

Al-Qur'an bahkan menyebut dengan tiga tindakan berkaitan dengan pemaafan dalam keluarga, yaitu ta’fu (memaafkan), tasfahu (tidak mengeluarkan kata-kata yang identik dengan mencela), dan taghfiru (memohonkan ampunan kepada Allah Ta’ala untuk mereka).

Sesungguhnya ada seribu satu alasan untuk memaafkan, sebagaimana ada seribu satu alasan untuk tidak memaafkan. Hanya saja, sebagai orang yang telah mengetahui keutamaan memaafkan, kita tentu lebih memilih untuk memaafkan.

Sebab itulah ciri-ciri orang yang bertakwa, sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam Surat Ali Imran [3] ayat 133 - 134 bahwa, “ ... (orang yang bertakwa) yaitu orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain.”

Alangkah angkuhnya kita jika tidak mau memaafkan saudara kita. Padahal, dengan memaafkan, berarti kita menyenangkan hati orang lain, memusnahkan benih kejahatan, menghilangkan kedengkian, dan membantu orang lain untuk bertobat.

Wallahu a’lam bish-Shawab. ***
Sumber : Suara Hidayatullah (dengan penyesuaian)


No comments:

Post a Comment