Oleh: Dr. Abdul
Mannan, SE
Ketua Umum Pimpinan Pusat Hidayatullah
“Kelompok miskin dalam Islam tidak dihujat sebagai kelompok
yang malas dan yang tidak suka menabung atau berinvestasi. Ajaran Islam yang
paling nyata menjunjung tinggi upaya pemerataan untuk mewujudkan keadilan sosial”
Berbeda dengan ilmu ekonomi kapitalis dan sosialis,
sistem ekonomi Islam memiliki paradigma syariah, yang berarti tidak lagi
berorientasi kepada pasar, melainkan berorientasi syariah (hukum) yang
bersumber dari al-Qur'an dan Hadits. Jika dilihat dari dasar dan filosofinya,
berorientasi kepentingan dunia dan akhirat, karena filosofi tauhid akan
menaungi seluruh aktivitas hidup, bukan hanya sebatas aktivitas ekonomi
melainkan terintegrasi kepada semua aspek kehidupan : sosial, ekonomi, budaya,
politik, hukum, ilmu pengetahuan, teknologi, bahkan tataran spiritual
sekalipun.
Jika sistem kapitalisme menonjolkan individualisme dari
manusia, dan sosialisme pada kolektivisme, maka Islam menekankan empat sifat
sekaligus yaitu : kesatuan (Unity
atau Tauhid), keseimbangan atau
kesejajaran (Equilibrium atau Al-'Adl wal Ihsan), kebebasan (Free will atau Ikhtiyar), dan tanggung jawab (Responsibility
atau Fardh).
Sistem ekonomi Islam berbeda dari kapitalisme,
sosialisme, maupun Negara Kesejahteraan (Welfare
State). Berbeda dari kapitalisme karena, pertama, Islam menentang
eksploitasi oleh pemilik modal terhadap buruh yang miskin, dan melarang
penumpukan kekayaan. Seperti tertulis dalam firman-Nya : "Kecelakaanlah bagi setiap yang mengumpulkan
harta dan menghitung-hitung." (Al-Humazah [104] : 2). Kedua, kelompok
miskin dalam Islam tidak dihujat sebagai kelompok yang malas dan yang tidak
suka menabung atau berinvestasi. Ajaran Islam yang paling nyata menjunjung
tinggi upaya pemerataan untuk mewujudkan keadilan sosial, seperti yang
tercantum dalam al-Qur'an, "Jangan
sampai kekayaan hanya beredar dikalangan orang-orang kaya saja di antara kamu."
(Al-Hasyr [59] : 7). Islam berbeda dalam hal kekuasaan negara, yang dalam
sosialisme sangat kuat dan menentukan. Kebebasan perorangan yang dinilai tinggi
dalam Islam jelas bertentangan dengan ajaran sosialisme.
Ajaran Negara Kesejahteraan (Welfare State), yang berada di tengah-tengah antara kapitalisme dan
sosialisme, memang lebih dekat ke ajaran Islam. Bedanya hanyalah, dalam Islam
etika benar-benar dijadikan pedoman perilaku ekonomi sedangkan dalam Welfare State tidak demikian, karena
etika Welfare State adalah sekuler
yang tidak mengarahkan pada "integrasi vertikal" antara aspirasi
materi dan spiritual. Jelas, bahwa dalam Islam pemenuhan kebutuhan materil dan
spiritual benar-benar dijaga keseimbangannya, dan pengaturan oleh negara,
meskipun ada, tidak akan bersifat otoriter.
Manusia sebagai wakil Allah (khalifah) di dunia tidak mungkin bersifat individualistik karena
semua (kekayaan) yang ada di bumi adalah milik Allah semata, dan manusia adalah
kepercayaannya di bumi. Dari sini, selanjutnya Naqvi merumuskan lima sasaran
kebijakan yang ia tarik dari postulat-postulat etika dasar Islam yakni
menyangkut kebebasan individu, keadilan distributif, pertumbuhan ekonomi,
pendidikan universal, dan peluang kerja maksimum.
Kita membuktikan bahwa sistem ekonomi Islam dapat
mengantarkan pada pencapaian pertumbuhan dan keadilan distributif secara
simultan sekaligus menjamin kebebasan individu tanpa mengorbankan kebijakan
sosial. Dan, di sinilah letak tugas serta kewajiban Pemerintah dalam
mengalokasikan sumberdaya secara adil dan bijak sebagai upaya menekan
terjadinya kegagalan pasar. *
Sumber
: SUARA HIDAYATULLAH
No comments:
Post a Comment