A. Zakat Saham
1. Hukum Saham ada dua,
yakni:
a.
Saham yang dikeluarkan
oleh perusahaan atau lembaga yang diharamkan atau bergerak di usaha yang haram,
atau termasuk ke dalam tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran, maka ini diharamkan.
Hal ini berdasarkan Firman Allah Ta’ala:
wur… (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur ...
Terjemahnya:
“…jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran…” (QS. Al
Maaidah:2)
b.
Saham yang dikeluarkan perusahaan yang mubah dan bergerak
pada usaha yang mubah pula, maka ini dibolehkan dengan syarat: syirkah atau bentuk kerjasamanya
diketahui dengan jelas, dan yang menjalankannya pun terpercaya serta amanah.
Mereka merasa diawasi Allah dan bertaqwa kepadanya. Tidak ada unsur gharar (tipu daya), dan tidak ada yang
disembunyikan oleh perusahaan kepada para pemegang saham. Maka ini dibolehkan
dan halal tanpa diragukan lagi.
2. Jenis Saham
Saham yang dimiliki individu atau lembaga terdiri dari saham
biasa (common stock) dan saham
preferen (preferred stock). Saham
yang dimiliki oleh perusahaan (treasury
stock) yakni saham milik perusahaan yang sudah pernah dikeluarkan dan
beredar, kemudian dibeli kembali oleh perusahaan untuk disimpan sebagai treasury yang nantinya dapat dijual
kembali.
3. Cara Menzakati Saham, ada 2:
a.
Saham perusahaan industri , seperti obat-obatan,
listrik, semen, besi dan lain-lain, dimana semua pemegang saham tidak bermaksud
untuk menjualnya selamanya, dan mereka hanya mengharapkan keuntungan dari
perusahaan, maka zakat yang diwajibkan adalah dari keuntungan bersihnya saja
sebesar 2,5%, jika keuntungan tersebut mencapai nishab dan genap satu tahun. Setiap pemegang saham wajib
mengeluarkan zakat keuntungan dari bagian sahamnya setiap tahun, dikiaskan pada
lahan tanah yang disewakan.
b.
Saham pada perdagangan saja, yang bergerak dalam
jual beli barang dagangan, seperti mudhaarabah,
dimana para pemegang saham tidak bermaksud untuk menanamkan saham
selamanya, maka zakatnya diwajibkan pada seluruh saham berikut keuntungannya
setiap tahun jika mencapai nishab. Kadarnya
seperti perdagangan, yakni 2,5% (Lihat Mukhtasharul
Fiqhil Islaamiy karya Muhammad
bin Ibrahim at-Tuwaijiri, hal. 605-606).
4. Azas Pendekatan Atas Zakat Saham
a.
Nishab zakat
saham diqiyaskan dengan zakat maal/tijarah
b.
Haul zakat
sahamdihitung per annual report
c.
Zakat kepemilikan saham awal/pra Initial Public Offering (IPO) masih
disatukan dengan zakat maal lain yang
dimiliki oleh muzakki pada periode haul tersebut
d.
Saham yang dimiliki dihitung atas dasar “book value” ditambah nilai deviden
e.
Saham yang dijual (divestasi) dihitung berdasarkan
“intrinisic value” dikeluarkan pada
periode transaksi.
Contoh:
Tn. Abdullah memiliki 500.000
lembar saham PT. Abdi Ilahi. Harga nominal Rp. 5.000,-/lembar. Pada akhir tahun
buku tiap lembar saham memperoleh deviden Rp. 300,-
Perhitungan
zakat:
Nilai saham (book value) (500.000
x Rp. 5.000,00 = Rp. 2.500.000.000,00)
Deviden (500.000 x Rp. 300,00 =
Rp. 150.000.000,00)
Total Rp. 2.650.000.000,00
Zakat: 2,5% x Rp.
2.650.000.000,00 = Rp. 6.625.000,00
B. Zakat Surat Berharga
Hukum
jual beli surat berharga dan bertransaksi dengan menggunakan surat seperti ini
termasuk riba yang pernah ada di zaman jahiliyah. Sejak diterbitkannya surat
ini, maka sudah termasuk perbuatan di luar syariat. Maka pemiliknya tidak boleh
menjualnya, ia wajib bertaubat, dan ia
diperbolehkan mengambil modal pokoknya, ia tidak aniaya dan tidak pula
menganiaya. (Lihat ar-Ribaa wal Mu’aamalaat al-Musharrifiyyah fii Nazhrisy Syarii’atil
Islamiyyah karya DR. Imran bin Abdil Aziz al-Matruk rahimahullaah,hal. 371)
Meski
diharamkan memperjualbelikannya, tetap wajib dizakati. Pemilik surat berharga
seperti orang yang memiliki piutang pada orang lain, maka pendapat yang shahih
tentang zakat piutang adalah:
1.
Jika piutang tersebut pada orang yang memiliki
kredibilitas, maka pemilik piutang wajib menzakati piutangnya setiap tahun
ketika tiba haul. Seakan-akan piutang
tersebut ada padanya, sementara piutang tersebut pada orang yang berhutang
seperti amanat yang ia pegang. (Lihat Mukhtasarul Fiqhil Islaamiy karya
Muhammad bin Ibrahim at-Tuwaijiiri, hal. 605-606)
2.
Piutang pada orang yang tidak memiliki
kredibilitas, bahkan ia kesulitan, ingkar, atau memperlambat pembayaran, maka
yang benar dari pendapat para ulama : Pemilik piutang tidak wajib menzakatinya
hingga ia menerima pembayaran piutang tersebut, kemudian datang periode di
tahun yang baru, dan ketika tiba haul –setelah
ia menerima pembayaran piutang tersebut- maka ia wajib menzakatinya. Jika ia
menzakatinyasetahun sebelum menerima piutangnya, maka lebih baik dan lebih
berhati-hati. (Lihat al-Mughni [IV/269], Fatawaa
Ibni Baz [XIV/53)
(Catatan: Perhitungan zakat dilakukan
berdasarkan harga saham tersebut di akhir haul, bukan berdasarkan harta belinya
dahulu [Daliiluz Zakaah, karya Muhammad bin Ma’idh Alu Musallath]).
Sumber:
Zakat dan Cara Praktis Mengitungnya karya Abu Muhammad Ibnu Shalih bin
Hasbullah, Panduan Praktis Zakat karya Muhammad Suryadi Abdul Aziz, Ensiklopedi
Mini Zakat karya Dr. Fakhruddin al-Muhsin
No comments:
Post a Comment