Thursday, April 11, 2013

ZAKAT SAHAM DAN SURAT BERHARGA



A.  Zakat Saham
  1.  Hukum Saham ada dua, yakni:
a.    Saham yang dikeluarkan oleh perusahaan atau lembaga yang diharamkan atau bergerak di usaha yang haram, atau termasuk ke dalam tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran, maka ini diharamkan. Hal ini berdasarkan Firman Allah Ta’ala:
Ÿwur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur ...
Terjemahnya: “…jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran…” (QS. Al Maaidah:2)
b.    Saham yang dikeluarkan perusahaan yang mubah dan bergerak pada usaha yang mubah pula, maka ini dibolehkan dengan syarat: syirkah atau bentuk kerjasamanya diketahui dengan jelas, dan yang menjalankannya pun terpercaya serta amanah. Mereka merasa diawasi Allah dan bertaqwa kepadanya. Tidak ada unsur gharar (tipu daya), dan tidak ada yang disembunyikan oleh perusahaan kepada para pemegang saham. Maka ini dibolehkan dan halal tanpa diragukan lagi.
  2.  Jenis Saham
Saham yang dimiliki individu atau lembaga terdiri dari saham biasa (common stock) dan saham preferen (preferred stock). Saham yang dimiliki oleh perusahaan (treasury stock) yakni saham milik perusahaan yang sudah pernah dikeluarkan dan beredar, kemudian dibeli kembali oleh perusahaan untuk disimpan sebagai treasury yang nantinya dapat dijual kembali.

  3.  Cara Menzakati Saham, ada 2:
a.    Saham perusahaan industri , seperti obat-obatan, listrik, semen, besi dan lain-lain, dimana semua pemegang saham tidak bermaksud untuk menjualnya selamanya, dan mereka hanya mengharapkan keuntungan dari perusahaan, maka zakat yang diwajibkan adalah dari keuntungan bersihnya saja sebesar 2,5%, jika keuntungan tersebut mencapai nishab dan genap satu tahun. Setiap pemegang saham wajib mengeluarkan zakat keuntungan dari bagian sahamnya setiap tahun, dikiaskan pada lahan tanah yang disewakan.
b.    Saham pada perdagangan saja, yang bergerak dalam jual beli barang dagangan, seperti mudhaarabah, dimana para pemegang saham tidak bermaksud untuk menanamkan saham selamanya, maka zakatnya diwajibkan pada seluruh saham berikut keuntungannya setiap tahun jika mencapai nishab. Kadarnya seperti perdagangan, yakni 2,5% (Lihat Mukhtasharul Fiqhil Islaamiy karya Muhammad bin Ibrahim at-Tuwaijiri, hal. 605-606).

  4.  Azas Pendekatan Atas Zakat Saham
a.    Nishab zakat saham diqiyaskan dengan zakat maal/tijarah
b.    Haul zakat sahamdihitung per annual report
c.    Zakat kepemilikan saham awal/pra Initial Public Offering (IPO) masih disatukan dengan zakat maal lain yang dimiliki oleh muzakki pada periode haul tersebut
d.    Saham yang dimiliki dihitung atas dasar “book value” ditambah nilai deviden
e.    Saham yang dijual (divestasi) dihitung berdasarkan “intrinisic value” dikeluarkan pada periode transaksi.

Contoh:
Tn. Abdullah memiliki 500.000 lembar saham PT. Abdi Ilahi. Harga nominal Rp. 5.000,-/lembar. Pada akhir tahun buku tiap lembar saham memperoleh deviden Rp. 300,-
Perhitungan zakat:
Nilai saham (book value) (500.000 x Rp. 5.000,00 = Rp. 2.500.000.000,00)
Deviden (500.000 x Rp. 300,00 = Rp. 150.000.000,00)
Total Rp. 2.650.000.000,00
Zakat: 2,5% x Rp. 2.650.000.000,00 = Rp. 6.625.000,00

  B.  Zakat Surat Berharga
Hukum jual beli surat berharga dan bertransaksi dengan menggunakan surat seperti ini termasuk riba yang pernah ada di zaman jahiliyah. Sejak diterbitkannya surat ini, maka sudah termasuk perbuatan di luar syariat. Maka pemiliknya tidak boleh menjualnya, ia wajib bertaubat, dan ia  diperbolehkan mengambil modal pokoknya, ia tidak aniaya dan tidak pula menganiaya. (Lihat ar-Ribaa wal Mu’aamalaat al-Musharrifiyyah fii Nazhrisy Syarii’atil Islamiyyah karya DR. Imran bin Abdil Aziz al-Matruk rahimahullaah,hal. 371)
Meski diharamkan memperjualbelikannya, tetap wajib dizakati. Pemilik surat berharga seperti orang yang memiliki piutang pada orang lain, maka pendapat yang shahih tentang zakat piutang adalah:
1.     Jika piutang tersebut pada orang yang memiliki kredibilitas, maka pemilik piutang wajib menzakati piutangnya setiap tahun ketika tiba haul. Seakan-akan piutang tersebut ada padanya, sementara piutang tersebut pada orang yang berhutang seperti amanat yang ia pegang. (Lihat Mukhtasarul Fiqhil Islaamiy karya Muhammad bin Ibrahim at-Tuwaijiiri, hal. 605-606)
2.    Piutang pada orang yang tidak memiliki kredibilitas, bahkan ia kesulitan, ingkar, atau memperlambat pembayaran, maka yang benar dari pendapat para ulama : Pemilik piutang tidak wajib menzakatinya hingga ia menerima pembayaran piutang tersebut, kemudian datang periode di tahun yang baru, dan ketika tiba haul –setelah ia menerima pembayaran piutang tersebut- maka ia wajib menzakatinya. Jika ia menzakatinyasetahun sebelum menerima piutangnya, maka lebih baik dan lebih berhati-hati. (Lihat al-Mughni [IV/269], Fatawaa Ibni Baz [XIV/53)
(Catatan: Perhitungan zakat dilakukan berdasarkan harga saham tersebut di akhir haul, bukan berdasarkan harta belinya dahulu [Daliiluz Zakaah, karya Muhammad bin Ma’idh Alu Musallath]).
Sumber: Zakat dan Cara Praktis Mengitungnya karya Abu Muhammad Ibnu Shalih bin Hasbullah, Panduan Praktis Zakat karya Muhammad Suryadi Abdul Aziz, Ensiklopedi Mini Zakat karya Dr. Fakhruddin al-Muhsin

No comments:

Post a Comment