Salah satu sisi negatif
kehidupan modern adalah munculnya masyarakat yang egois. Hampir semua orang
disibukkan oleh urusannya sendiri, dan tak peduli dengan urusan orang lain.
Bila ada urusan pribadinya yang terganggu sedikit saja, muncul alasan untuk
marah, membalas, atau mendendam. Padahal, dengan cara seperti itu, ia malah
akan menanggung dua beban sekaligus. Pertama, beban atas gangguan orang lain
dan yang kedua, beban marah yang tersimpan di dalam dadanya.
Islam mengajarkan kepada kita
untuk membebaskan diri dari segala bentuk beban yang tidak perlu. Kita harus
memerdekakan diri dari segala bentuk penjajahan hawa nafsu yang merusak dan
membebani. Kita buang beban itu dengan cara yang sangat sederhana, yaitu
memaafkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Khudzil
‘afwa wah mur bil ‘urfi wa a’ridh anil jahiliin”
Terjemahnya: “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta
berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (Al-A'raf [7] : 199)
Meski
Dizalimi
Seperti diriwayatkan oleh
Ath-Thabari, ketika ayat di atas diturunkan, Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam (SAW) meminta penjelasan kepada
Jibril tentang maksud dan kandungannya. Jibril kemudian menjawab,
“Sesungguhnya Allah Ta’ala
memerintahkan agar engkau memaafkan, sekalipun kepada orang yang menganiayamu
(agar engkau) memberi kepada orang yang menahan pemberiannya, dan (agar engkau)
menyambung silaturahim, meskipun kepada orang yang sengaja memutuskannya.”
Dalam kisah yang diriwayatkan
Anas bin Malik disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah memuji seorang bernama
Abu Dhamdham di depan para Sahabat. “Apakah kalian mampu berbuat seperti yang
dilakukan Abu Dhamdham?” kata Rasulullah SAW.
Para Sahabat kemudian bertanya,
“Apakah yang dilakukan Abu Dhamdham wahai Rasulullah ?”
Beliau menjawab, “Ia adalah
orang yang ketika bangun pagi selalu mengucapkan doa, ‘Ya Allah, saya berikan
jiwa dan nama baik saya. Jangan dicela orang yang mencela saya dan janganlah
dizalimi orang yang menzalimi saya, serta jangan dipukul orang yang memukul
saya.”
Alangkah mulianya ajaran Islam
ini bila diterapkan di tengah kehidupan modern yang semakin individualistis. Selain mulia, memaafkan juga
bisa mendatangkan kebahagiaan. Sebaliknya, keengganan untuk memaafkan hanya
akan melahirkan kesengsaraan, karena membiarkan diri disakiti terus-menerus
oleh diri kita sendiri.
Untuk itu, maafkanlah orang
yang meminta maaf. Maafkan juga orang yang mengajukan pengakuan atas
kesalahannya, dan terimalah permintaan maafnya tanpa banyak pertimbangan.
Bahkan carikan alasan agar kita bisa memaafkannya.
Sebelum
Diminta
Al-Qur'an secara spesifik
pernah menegur Abu Bakar Ash-Shiddiq karena ia telah bersumpah akan memutuskan
hubungan kekerabatan dan menghentikan bantuan keuangan yang biasa diberikannya
kepada sepupunya, Misthah bin Utsatsah.
Peristiwa ini bukan tanpa
alasan. Misthah telah melukai hati Abu Bakar karena ikut serta menyebarluaskan
berita bohong (haditsul ifki) tentang
`Aisyah, putri kesayangannya. Dalam berita palsu itu
disebutkan bahwa 'Aisyah telah berbuat serong dengan lelaki lain. Siapa yang
hatinya tidak marah jika putrinya difitnah seperti itu ?
Akan tetapi Allah Ta’ala justru menurunkan ayat secara khusus ditujukan kepada Abu
Bakar. Allah Ta’ala berfirman,
sebagaimana disebutkan dalam Surat An-Nuur [24] ayat 22,
Terjemahnya: “dan janganlah orang-orang yang mempunyai
kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan
memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan
orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema'afkan
dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? dan Allah
adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. An Nuur: 22)
Setelah ayat itu disampaikan
oleh Rasulullah SAW, secara spontan Abu Bakar menjawab pertanyaan Allah Ta’ala dengan berdoa, “Ya Allah, aku
lebih suka agar Engkau mengampuniku, dan aku sudah memafkannya.”
Abu Bakar memberi maaf kepada
sepupunya yang menyebarkan fitnah keji itu sebelum Misthah datang meminta
maaf. Baginya, ampunan Allah Ta’ala
jauh lebih penting dari pada sekedar permintaan maaf orang lain. Ia tidak menunggu sepupunya
merengek-rengek atau menunduk-nunduk meminta maaf. Meminta maaf atau tidak, ia
telah memaafkannya.
Pangkal
Pengampunan
Bagi orang yang bertakwa,
ampunan Allah Ta’ala berada di atas
segala-galanya. Karena itu, kita hendaklah meminta ampunan-Nya siang dan malam.
Beristighfar dan bertobatlah kepada-Nya. Salah satu cara mudah meraih
ampunan Allah Ta’ala adalah dengan
memberi maaf kepada orang lain. Rasulullah SAW, dalam sebuah Hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Daud, berkata, “Barangsiapa
memaafkan kesalahan seorang Muslim, maka Allah akan memaafkan kesalahannya.” Sepanjang bukan menyangkut
masalah hudud (hukuman yang diatur
oleh Allah Ta’ala), seberapa pun
besarnya kesalahan orang lain, kita harus bisa terbuka untuk memaafkannya.
Ada dua cara yang efektif untuk
memaafkan kesalahan orang lain. Pertama, kita menyadari bahwa manusia itu
tempatnya salah dan lupa. Kita sendiri sebagai pribadi, juga sering berbuat
salah, baik kepada Allah Ta’ala
maupun kepada sesama manusia.
Jika kita ingin dimaafkan orang
lain, tentu orang lain yang berbuat salah kepada kita juga ingin dimaafkan oleh
kita. Jika ada orang yang tidak meminta maaf atas kesalahannya, tak ada alasan
bagi kita untuk tidak memaafkan.
Dalam hal ini kita harus berhusnuzhan (baik sangka) kepadanya bahwa
dia tidak memahami kesalahannya, atau karena ilmunya yang terbatas, atau
mungkin saja persepsinya yang berbeda.
Cara
kedua, kita meyakini bahwa Allah Ta’ala itu Maha Pemaaf dan menyukai orang yang meminta maaf. Jika
Allah Ta’ala mudah memberi maaf,
mengapa kita pelit memaafkan orang lain ?
Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada yang lebih suka memaafkan selain
Allah. Oleh karena itu, Dia mengutus para Rasul sebagai pemberi kabar gembira dan
peringatan.” (Riwayat Bukhari).
Begitu besarnya pengampunan
Allah Ta’ala sehingga Dia memaafkan
orang yang meminta ampunan maupun yang tidak minta ampun. Dalam Hadits yang
diriwayatkan Bukhari disebutkan bahwa ada seorang laki-laki di masa lalu yang
memerintahkan anak-anaknya untuk membakar jasadnya jika ia telah mati, lalu menaburkan
abunya di hembusan angin. Tujuannya tak lain agar Allah Ta’ala kelak, menurut anggapannya, tidak dapat mengumpulkan kembali
abu tersebut dan tidak dapat menyiksanya.
Lalu Allah Ta’ala mengumpulkan abunya, dan menghidupkannya kembali, dan
kemudian bertanya kepadanya, “Apa yang menyebabkan kamu berbuat demikian ?” Ia menjawab, “Karena aku takut
kepada-Mu, wahai Tuhanku.” Allah Ta’ala
kemudian mengampuninya.
Para Ulama mengomentari Hadits
di atas bahwa Allah Ta’ala mengampuni
dosa seseorang karena ketidaktahuannya dalam masalah aqidah. Lantas bagaimana
dengan kita ? Apakah kita tidak ingin memaafkan kesalahan saudara kita hanya
karena ketidaktahuannya atas masalah yang lebih sepele dibanding kejadian di
atas ?
Al-Qur'an bahkan menyebut
dengan tiga tindakan berkaitan dengan pemaafan dalam keluarga, yaitu ta’fu (memaafkan), tasfahu (tidak mengeluarkan kata-kata yang identik dengan mencela),
dan taghfiru (memohonkan ampunan
kepada Allah Ta’ala untuk mereka).
Sesungguhnya ada seribu satu
alasan untuk memaafkan, sebagaimana ada seribu satu alasan untuk tidak
memaafkan. Hanya saja, sebagai orang yang telah mengetahui keutamaan memaafkan,
kita tentu lebih memilih untuk memaafkan.
Sebab itulah ciri-ciri orang
yang bertakwa, sebagaimana firman Allah Ta’ala
dalam Surat Ali Imran [3] ayat 133 - 134 bahwa, “ ... (orang yang bertakwa) yaitu orang-orang yang menafkahkan
(hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan
amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain.”
Alangkah angkuhnya kita jika
tidak mau memaafkan saudara kita. Padahal, dengan memaafkan, berarti kita
menyenangkan hati orang lain, memusnahkan benih kejahatan, menghilangkan
kedengkian, dan membantu orang lain untuk bertobat.
Wallahu
a’lam bish-Shawab. ***
Sumber : Suara Hidayatullah
(dengan penyesuaian)