Tuesday, May 7, 2013

MEMBACA BENING MATA IBU


Oleh: Khozaimah

Membaca bening matamu, Ibu
Hilang segala perih waktu
Raib dahaga
Sebab ilmumu jelma telaga
Sulaman aksara
Kau bagi di beranda masa

Perlahan
Kau kenalkan aku daun
Tak ragu gugur dari tangkai kehidupan
Aku hilang dalam ketakjuban

Jubah ketabahan
Selalu kau kenakan
Simpan segala kenakalan
Hingga tak terbaca zaman

Membaca bening matamu, Ibu
Yang aku ingat hanya rindu
Selalu menari dalam taman waktu
Ingatkan aku, kasihmu tak pernah jadi debu




DALAM MAGHRIB YANG GHAIB


Oleh: KH. Ghozi Mubarak

Melintasi maghrib yang ghaib
Kita bercakap tentang reranting
Tentang dedaun riang
Teduhi tanah nasib

Kau tanyakan padaku
Tentang cahaya yang telah kurampungkan
Sesekali debu dalam diriku
Kau biarkan terasah jadi permata zaman

Perlahan
Kau berpesan
Jika kelak aku jadi bintang
Jangan lupa berbagi terang

Angin mulai paham
Tembok mulai tentram
Tak mau jadi batas kelam
Zaman yang semakin buram

Lalu
Kau tanyakan padaku
Tentang hakekat kelana
Pesona lalu fana

Lantas
Kau beri aku kanvas
Biar mekar segala bunga
Yang kupersiapkan untuk bangsa

Kemudian kita berpisah
Bawa sejarah
Yang kian sajadah
Taklukkan resah



RAMADHAN BERKAH


Matahari senja akhir Ramadhan telah tenggelam di ufuk barat
Fajar sadiq merah 1 Syawal telah terbit
Ramadhan berkah telah hilang tahun ini, pergi tanpa pamit 
Pamit tak bersisa 
Berlalu bagai angin 
Berhembus tak berasa 
Serasa hati tak rela,
Karena ia menyimpn selaksa bahagia yang penuh berkah 
Bila bisa genaplah menjadi 40 hari, atau lebih 
Semoga Sang Pencipta mempertemukan di masa berikutnya 
Ingatlah ketika awal penciptaan kita oleh Sang Khaliq,
Ia menyeruh “Siapakah Tuhanmu?”
atas kekuasaan-Nya kita menjawab,
“Engkaulah Rabbku semesta alam.”
Ingat pula ketika dilahirkan oleh Ibu kita,
Kakinya sebelah telah berada di pemakaman 
Olehnya pengabdian dan bakti wajib bagi Pencipta dan Ibu mutlak diadakan 
Oh... Sang Pencipta, maafkan segala sengaja dan khilaf atas segala laku dan lakon yang kami kerjakan di masa hidup ini. Kalau bukan kasih dan Rahmat-Mu tentulah hamba yang dhaif ini pasti rugi tak terbatas.
Oh ... Ilahi anta subhanaka ma allamta, satukan hati dan jiwa kami dalam Rahmatan yang tak berkesudahan lagi kekal abadi dan terus menerus ...

Saudara Saudariku, maafkan dan ampunkan atas segala kata yang tak terukur ...
Laku berlebihan ... 
Tingkah menyakitkan ...
Keinginan mengkhawatirkan ...
Sapaan tak cukup ...
Dan segala hal yang tak di batasi...

Taqabbalallahu minna wa minkum
Atas segala sesuatu serta ucapan yang baik, kami hanya membalasnya dengan doa
Ha zarakallahu fima ataita,
Syukron jazakallah khair

Keluarga Besar
Lembaga Zakat Indonesia  Makassar, Sulawesi Selatan
 (November 2011)

Laporan Penerimaan dan Penggunaan Dana Periode Maret 2011 / Rabiul Awal 1432 H.



A.   Penerimaan
Saldo akhir pada bulan September 2010................................................................. 20.230.400
Dana ZIS dari para Muzakki / Donatur Tetap bulan Oktober 2010............................ 5.635.500
Dana ZIS dari para Muzakki / Donatur Tetap bulan Nopember 2010 ....................... 5.509.500
Dana ZIS dari para Muzakki / Donatur Tetap bulan Desember 2010 ....................... 6.195.500
Dana ZIS dari para Muzakki / Donatur Tetap bulan Januari 2011 ............................ 6.320.500
Dana ZIS dari para Muzakki / Donatur Tetap bulan Pebruari 2011 .......................... 6.762.000
Saldo Akhir September ditambah penerimaan dana ZIS dari bulan
Oktober sampai bulan Desember tahun 2010 dan Januari sampai Pebruari
tahun 2011 sebesar ............................................................................................. 50.653.400

Infak Khusus
-  Sri Warda Abduh / Akhmad Zulfan, Dinkes / Jl. Raya Pendidikan Mks .................. 150.000
-  H. Andi Ihdar, Komp. Marindah Makassar ............................................................... 180.000
-  Muh. Nico Rahmatullah Billiet di bumi Allah .................................................. ...... 1.000.000
Total Penerimaan ZIS ditambah Infak Khusus .................................................. 51.983.400

Penggunaan Dana

B.   Pendayagunaan
v  Natura Pendidikan siswa berprestasi dan Dhuafa tahap 1 (satu) tahun 2011
untuk bulan Januari s/d Juni sebesar ......................................................... 10.690.000
v  Donasi bagi siswa berprestasi dan Dhuafa yang diberikan tiap bulan
diserahkan per semester / 6 bulan dalam 6 (enam) tahap : ....................30.180.000

C.   Administrasi
v  Majalah bagi Donatur / Muzakki pada bulan Oktober s/d Desember thn 2010...... 1.980.000
v  Majalah bagi Donatur / Muzakki pada bulan Januari s/d Pebruari thn 2011.... ...... 1.386.000
v  Telepon bulan Oktober s/d Desember 2010 dan Januari s/d Pebruari 2011........... 170.000
v  Promosi ZIS ............................................................................................................. 731.000
v  Inventaris kantor ................................................................................................... 1.635.000
v  Pengelola (Amil) 3 (tiga) orang selama 5 (lima) bulan ......................................... 2.250.000
v  Collector selama 5 (lima) bulan ........................................................................... 1.200.000

D.   Sosial
v  Pembinaan Ummat oleh Al Ustadz KH. Bakri Wahid, Ba ...................................... 150.000
v  Program pembelajaran pagi Ahad oleh Ustadz Madinung, 
     Bsw bagi anak binaan (AB).................................................................................... 700.000
v  Sembako untuk Dhuafa ....................................................................................... 1.340.000
v  Keperluan Fardhu Kifayah bagi warga berduka .................................................... 320.000

Total Penggunaan Dana pada bulan Oktober s/d bulan Desember 2010
dan bulan Januari s/d bulan Pebruari 2011 .................................................... 22.552.500

   E.   SALDO AKHIR .................................................................................................... 29.430.900
5
 

Shalat


Bila semua kata-kata ini sampai dengan baik dan sempurna, Insya Allah kesejahteraan dan keberkahan selalu bersama kita ...

Bila “SUBUH” utuh,
Pagi pun tumbuh,
Hati terasa teduh,
Pribadi tidak angkuh,
Keluarga tidak keruh,
Maka damai berlabuh

Bila “DZUHUR” teratur,
Diri jadi jujur,
Hati tidak kufur,
Jiwa selalu bersyukur,
Amal ibadah tidak udzur,
Keluarga akur,
Maka pribadi jadi makmur

Bila “ASHAR” kelar,
Jiwa jadi sabar,
Raga jadi tegar,
Senyum pun menyebar,
Insya Allah rezeki lancar

Bila “MAGHRIB” tertib,
Ngaji menjadi wajib,
Wirid jadi karib,
Jauh dari aib,
Insya Allah syafaat tidak raib

Bila “ISYA” terjaga,
Malam bercahaya,
Hati damai sejahtera,
Insya Allah hidup pun bahagia

Amin ...

Wassalamu Alaikum Wr. Wb.

(Keluarga Besar LZI, Abdul Muis Maulana B.)

LANGKAH NYATA MENEGAKKAN PERADABAN ISLAM


Peradaban modern, yang tak lain merupakan metamorfosis dari idiologi materialisme dengan lokomotif globalisasinya, terasa begitu cepat berkembang dan dinamis. Ia bahkan telah meninggalkan pesaingnya yang mengusung tema lebih menjanjikan, yaitu peradaban Islam.

            Padahal, Islam adalah inspirator peradaban yang telah melahirkan generasi terbaik sepanjang sejarah manusia, yaitu Rasulullah SAW dan para sahabat. Dahulu mereka berhasil mewujudkan iman dalam kehidupan nyata. Maka kini, orang-orang beriman yang telah mengikuti Beliau, seharusnya pun mampu melakukan hal yang sama. Lalu, seluas apa ruang lingkup implementasi iman dalam kehidupan nyata yang harus diwujudkan oleh orang-orang beriman ?

Pertama, Lingkup Pribadi
            Salah satu keutamaan seorang mukmin adalah sifat berkorban yang tidak dimiliki oleh manusia kebanyakan, yaitu pengorbanan sebagaimana yang digambarkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya :

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (Al-Hujurat [49] : 15)

Dengan keimanan itulah orang-orang mukmin dapat melepaskan diri dari belenggu dan ikatan duniawi yang sangat materialistis sehingga mereka rela berkorban dengan harta dan jiwanya di jalan Allah SWT. Karena imanlah mereka lebih memilih perniagaan yang lebih baik dan menyelamatkan, sekaligus mengundang ampunan dan surga-Nya, serta pertolongan dan kemenangan dari-Nya.

Allah SWT berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih ? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu.” (Ash-Shaaf [61] : 10 - 11).

Kedua, Lingkup Masyarakat 
            
       Rasulullah SAW saat membangun masyarakat Islam di Madinah berawal dari mendirikan masjid. Bahkan secara konsisten Rasulullah SAW dan para sahabat telah menjadikan masjid bukan sekedar tempat tempat shalat, namun juga tempat membangun masyarakat dan peradaban. Semangat inilah yang digambarkan Allah SWT dalam firman-Nya :

“Katakanlah, “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-An’aam [6] : 162).

            Pembangunan peradaban Islam yang dimulai dari masjid memberikan pesan bahwa peradaban yang hendak dibangun itu harus berlandaskan iman dan ilmu. Keduanya saling terkait dan tidak bisa dipisahkan. Melalui masjid-masjid, peradaban Islam tumbuh dan berkembang memberi kontribusi yang luar biasa terhadap peradaban dunia karena bersumber langsung dari Al-Qur’an. Di sisi lain, masjid telah menjadi tempat lahirnya banyak ulama dan ilmuwan besar Islam. Sayangnya, umat Islam dewasa ini justru tertinggal peradabannya.

Ketiga, Lingkup Dunia
            Dengan iman, seseorang akan menjadikan kehidupan dunia ini sebagai sarana untuk mendapatkan tujuan yang lebih mulia, yaitu kehidupan akhirat. Jika seseorang rela dengan harta yang sedikit dan tempat tinggal yang sederhana, maka ringan pula baginya untuk mengeluarkan hartanya, meninggalkan rumah dan keluarganya, bahkan kehidupannya, demi menggapai ridha Allah SWT. Ketika maut menjemputnya, baik di rumah maupun di medan jihad, ia menyambutnya dengan gembira. Sebab, ia yakin bahwa ada surga menantinya.

Orang beriman hampir tidak pernah memberi sesuatu kecuali untuk mendapatkan ganjaran dari Allah SWT, baik tunai atau ditangguhkan. Jiwanya selalu menantikan balasan yang adil atas apa yang pernah diberikannya. Karena hanya perjuangan dan pengorbanan demi agamalah yang dapat memecahkan persoalan manusia.

Bagi orang beriman, apa saja yang ia berikan akan kembali padanya berlipat ganda. Harta yang ia berikan dan apa yang menimpa jiwa dan raganya akan diganti pula oleh Allah SWT. Jika ia mempersembahkan nyawanya di jalan Allah SWT, lalu ia terbunuh atau mati, pada hakikatnya ia tidak mati melainkan hidup di sisi Tuhannya dan diberi rezeki.

Allah SWT berfirman :

“…dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikit pun tidak akan dianiaya.” (Al-Baqarah [2] : 272).

Menerima dan menjawab ujian dengan baik dan benar.
            Tujuan pokok dari ujian yang diberikan Allah SWT adalah untuk mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. Sebab, hakekat iman yang benar adalah rela berkorban dengan tenaga, pikiran, dan harta benda, bahkan mempertaruhkan nyawa sekalipun.
            
Allah SWT menggambarkan orang-orang yang benar imannya dalam Al-Qur’an Surah Fushshilat [41] ayat 30 - 31. Mereka, kata Allah SWT, adalah orang-orang yang mengatakan bahwa, “Allah itu Tuhan kami (Rabbunallah),” kemudian mereka berpendirian teguh.

Menjadikan iman sebagai semangat gerakan
            Bila kita ingin mencapai apa yang telah dicapai oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya, maka hendaklah kita memperbaharui iman dan melaksanakan apa yang menjadi konsekuensinya. Iman itu bukan sekedar retorika, tapi benar-benar menuntut pelaksanaannya.

            Itulah sebabnya, segala upaya dalam penerapan iman pasti akan menghadapi berbagai tantangan, yakni :
1.      Godaan Hawa Nafsu
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Surah Al-Jaatsiyah [45] ayat 23
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”

Orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhan akan dibiarkan oleh Allah SWT dalam keadaan sesat. Kemudian, Allah SWT mengunci mati pendengaran dan hatinya, serta menutup penglihatannya. Jika sudah seperti ini, siapakah yang akan memberinya petunjuk selain Allah SWT ?

2.     Kesombongan
Sesungguhnya milik Allah-lah segala yang meliputi langit dan bumi dan apa-apa yang dimiliki manusia adalah amanah dari-Nya, lantas mengapakah kita sebagai manusia tidak mengambil pelajaran?

Allah SWT berfirman :
“Ketahuilah ! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.” (Al-Alaq [96] : 6 – 7).

3.     Cinta Dunia
Allah SWT berfirman :
“Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka neraka Jahim lah tempat kembalinya.” (An-Naazi’aat [79] : 37 – 38).

4.     Dorongan Syahwat
Allah SWT dalam Surah Ali-Imran [3] ayat 14, menyebut contoh-contoh kesenangan hidup di dunia yang bisa mendorong syahwat, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta emas dan perak yang banyak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, serta sawah dan ladang.

Wallahu a’lam bish-shawab. ***
Sumber: LZI_News Ed.11

MAAFKANLAH SEBELUM DIMINTA



Salah satu sisi negatif kehidupan modern adalah munculnya masyarakat yang egois. Hampir semua orang disibukkan oleh urusannya sendiri, dan tak peduli dengan urusan orang lain. Bila ada urusan pribadinya yang terganggu sedikit saja, muncul alasan untuk marah, membalas, atau mendendam. Padahal, dengan cara seperti itu, ia malah akan menang­gung dua beban sekaligus. Pertama, beban atas gangguan orang lain dan yang kedua, beban marah yang tersimpan di dalam dadanya.

Islam mengajarkan kepada kita untuk membebaskan diri dari segala bentuk beban yang tidak perlu. Kita harus memerdekakan diri dari segala bentuk penjajahan hawa nafsu yang merusak dan membebani. Kita buang beban itu dengan cara yang sangat sederhana, yaitu memaafkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Khudzil ‘afwa wah mur bil ‘urfi wa a’ridh anil jahiliin”
Terjemahnya: “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-­orang yang bodoh.” (Al-A'raf [7] : 199)

Meski Dizalimi
Seperti diriwayatkan oleh Ath-Thabari, ketika ayat di atas diturunkan, Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam (SAW) meminta penjelasan kepada Jibril tentang maksud dan kandungannya. Jibril kemudian menjawab, “Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan agar engkau memaafkan, sekalipun kepada orang yang menganiayamu (agar engkau) memberi kepada orang yang menahan pemberiannya, dan (agar engkau) menyambung silaturahim, meskipun kepada orang yang sengaja memutuskannya.”

Dalam kisah yang diriwayatkan Anas bin Malik disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah memuji seorang bernama Abu Dhamdham di depan para Sahabat. “Apakah kalian mampu berbuat seperti yang dilakukan Abu Dhamdham?” kata Rasulullah SAW.

Para Sahabat kemudian bertanya, “Apakah yang dilakukan Abu Dhamdham wahai Rasulullah ?”
Beliau menjawab, “Ia adalah orang yang ketika bangun pagi selalu mengucapkan doa, ‘Ya Allah, saya berikan jiwa dan nama baik saya. Jangan dicela orang yang mencela saya dan janganlah dizalimi orang yang menzalimi saya, serta jangan dipukul orang yang memukul saya.”

Alangkah mulianya ajaran Islam ini bila diterapkan di tengah kehidupan modern yang semakin individualistis. Selain mulia, memaafkan juga bisa mendatangkan kebahagiaan. Sebaliknya, keengganan untuk memaafkan hanya akan melahirkan kesengsaraan, karena membiarkan diri disakiti terus-menerus oleh diri kita sendiri.

Untuk itu, maafkanlah orang yang meminta maaf. Maafkan juga orang yang mengajukan pengakuan atas kesalahannya, dan terimalah permintaan maafnya tanpa banyak pertimbangan. Bahkan carikan alasan agar kita bisa memaafkannya.

Sebelum Diminta
Al-Qur'an secara spesifik pernah menegur Abu Bakar Ash-­Shiddiq karena ia telah bersumpah akan memutuskan hubungan kekerabatan dan menghentikan bantuan keuangan yang biasa diberikannya kepada sepupunya, Misthah bin Utsatsah.

Peristiwa ini bukan tanpa alasan. Misthah telah melukai hati Abu Bakar karena ikut serta menyebarluaskan berita bohong (haditsul ifki) tentang `Aisyah, putri kesayangannya. Dalam berita palsu itu disebutkan bahwa 'Aisyah telah berbuat serong dengan lelaki lain. Siapa yang hatinya tidak marah jika putrinya difitnah seperti itu ?

 Akan tetapi Allah Ta’ala justru menurunkan ayat secara khusus ditujukan kepada Abu Bakar. Allah Ta’ala berfirman, sebagaimana disebutkan dalam Surat An-Nuur [24] ayat 22,
Terjemahnya: “dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. An Nuur: 22)

Setelah ayat itu disampaikan oleh Rasulullah SAW, secara spontan Abu Bakar menjawab pertanyaan Allah Ta’ala dengan berdoa, “Ya Allah, aku lebih suka agar Engkau mengampuniku, dan aku sudah memafkannya.”

Abu Bakar memberi maaf kepada sepupunya yang menye­barkan fitnah keji itu sebelum Misthah datang meminta maaf. Baginya, ampunan Allah Ta’ala jauh lebih penting dari pada sekedar permintaan maaf orang lain. Ia tidak menunggu sepupunya merengek-rengek atau menunduk-­nunduk meminta maaf. Meminta maaf atau tidak, ia telah memaaf­kannya.

Pangkal Pengampunan
Bagi orang yang bertakwa, ampunan Allah Ta’ala berada di atas segala-galanya. Karena itu, kita hendaklah meminta ampunan-Nya siang dan malam. Beristighfar dan bertobatlah kepada-Nya. Salah satu cara mudah meraih ampunan Allah Ta’ala adalah dengan memberi maaf kepada orang lain. Rasulullah SAW, dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, berkata, “Barangsiapa memaafkan kesalahan seorang Mus­lim, maka Allah akan memaafkan kesalahannya.” Sepanjang bukan menyangkut masalah hudud (hukuman yang diatur oleh Allah Ta’ala), seberapa pun besarnya kesalahan orang lain, kita harus bisa terbuka untuk memaafkannya.

Ada dua cara yang efektif untuk memaafkan kesalahan orang lain. Pertama, kita menyadari bahwa manusia itu tempatnya salah dan lupa. Kita sendiri sebagai pribadi, juga sering berbuat salah, baik kepada Allah Ta’ala maupun kepada sesama manusia.

Jika kita ingin dimaafkan orang lain, tentu orang lain yang berbuat salah kepada kita juga ingin dimaafkan oleh kita. Jika ada orang yang tidak meminta maaf atas kesalahannya, tak ada alasan bagi kita untuk tidak memaafkan.

Dalam hal ini kita harus berhusnuzhan (baik sangka) kepadanya bahwa dia tidak memahami kesalahannya, atau karena ilmunya yang terbatas, atau mungkin saja persepsinya yang berbeda.

Cara kedua, kita meyakini bahwa Allah Ta’ala itu Maha Pemaaf dan menyukai orang yang meminta maaf. Jika Allah Ta’ala mudah memberi maaf, mengapa kita pelit memaafkan orang lain ?

Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada yang lebih suka memaafkan selain Allah. Oleh karena itu, Dia mengutus para Rasul sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan.” (Riwayat Bukhari).

Begitu besarnya pengampunan Allah Ta’ala sehingga Dia memaafkan orang yang meminta ampunan maupun yang tidak minta ampun. Dalam Hadits yang diriwayatkan Bukhari disebutkan bahwa ada seorang laki-laki di masa lalu yang memerintahkan anak-anaknya untuk membakar jasadnya jika ia telah mati, lalu menaburkan abunya di hembusan angin. Tujuannya tak lain agar Allah Ta’ala kelak, menurut anggapannya, tidak dapat mengumpulkan kembali abu tersebut dan tidak dapat menyiksanya.

Lalu Allah Ta’ala mengumpulkan abunya, dan menghidupkannya kembali, dan kemudian bertanya kepadanya, “Apa yang menyebabkan kamu berbuat demikian ?” Ia menjawab, “Karena aku takut kepada-Mu, wahai Tuhanku.” Allah Ta’ala kemudian mengampuninya.

Para Ulama mengomentari Hadits di atas bahwa Allah Ta’ala mengampuni dosa seseorang karena ketidaktahuannya dalam masalah aqidah. Lantas bagaimana dengan kita ? Apakah kita tidak ingin memaafkan kesalahan saudara kita hanya karena ketidaktahuannya atas masalah yang lebih sepele dibanding kejadian di atas ?

Al-Qur'an bahkan menyebut dengan tiga tindakan berkaitan dengan pemaafan dalam keluarga, yaitu ta’fu (memaafkan), tasfahu (tidak mengeluarkan kata-kata yang identik dengan mencela), dan taghfiru (memohonkan ampunan kepada Allah Ta’ala untuk mereka).

Sesungguhnya ada seribu satu alasan untuk memaafkan, sebagaimana ada seribu satu alasan untuk tidak memaafkan. Hanya saja, sebagai orang yang telah mengetahui keutamaan memaafkan, kita tentu lebih memilih untuk memaafkan.

Sebab itulah ciri-ciri orang yang bertakwa, sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam Surat Ali Imran [3] ayat 133 - 134 bahwa, “ ... (orang yang bertakwa) yaitu orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain.”

Alangkah angkuhnya kita jika tidak mau memaafkan saudara kita. Padahal, dengan memaafkan, berarti kita menyenangkan hati orang lain, memusnahkan benih kejahatan, menghilangkan kedengkian, dan membantu orang lain untuk bertobat.

Wallahu a’lam bish-Shawab. ***
Sumber : Suara Hidayatullah (dengan penyesuaian)